Sabtu, 29 Januari 2011

Pagi Beriman Sore Kafir, Sore Beriman Pagi Kafir

Salah satu hadits yang menggambarkan era penuh fitnah di akhir zaman tampaknya sangat sesuai dengan kondisi dunia dewasa ini. Di dalamnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa pada masa itu sulit sekali menemukan orang yang istiqomah. Yang ada ialah orang-orang yang di pagi hari masih beriman kemudian di waktu sore ia menjadi kafir. Demikian pula ada yang di waktu sore beriman namun keesokan hari di waktu pagi ia telah menjadi kafir.

بَادِرُوا فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ

يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا وَيُمْسِي مُؤْمِنًا

وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bersegeralah beramal sebelum datangnya rangkaian fitnah seperti sepenggalan malam yang gelap gulita, seorang laki-laki di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore beriman dan pagi menjadi kafir, ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia." (HR. Ahmad No. 8493)

Sikap tidak istiqomah kata Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam disebabkan karena orang pada masa itu lebih mengutamakan kepentingan atau kemaslahatan dunia daripada memelihara keutuhan dien-nya (agama) alias imannya. Orang seperti ini telah tenggelam ke dalam faham bahkan ideologi materialisme.

Berdasarkan hadits ini berarti kita dapat simpulkan bahwa seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat atau mengaku muslim haruslah bersikap sangat waspada ketika ia menjalani era penuh fitnah di Akhir Zaman. Ia harus memahami bahwa bentuk pelanggaran terhadap Allah dapat berakibat kepada dua macam akibat. Pertama, ada yang berakibat seseorang menjadi berdosa, namun di mata Allah dosanya itu tidak menyebabkan dirinya keluar dari Islam. Artinya Allah masih tetap mengakui eksistensi iman pelaku dosa tersebut. Ia masih tetap dipandang sebagai seorang muslim atau seorang yang beriman.

Namun yang kedua, ada pula jenis dosa yang tidak saja pelakunya dipandang telah bermaksiat kepada Allah, tetapi bahkan mengakibatkan pelakunya tidak lagi dipandang masih beriman di mata Allah. Artinya perbuatan dosa yang dilakukannya telah membatalkan imannya. Allah menilai pelaku dosa tersebut telah keluar dari Islam alias menjadi kafir. Inilah yang sangat perlu kita khawatirkan. Dan hadits di atas jelas mengindikasikan fenomena ini. Jadi, di era penuh fitnah kita akan dengan mudah melihat adanya orang-orang yang di pagi hari masih beriman, namun karena satu dan lain hal, tiba-tiba di waktu sore ia telah menjadi kafir, copot imannya. Demikian pula ada mereka yang di waktu sore masih beriman, namun entah apa yang terjadi di malam harinya, tiba-tiba keesokan paginya ia telah menjadi kafir.

Di dalam kitabnya berjudul Dhawabith At-Takfir ‘inda Ahlis-Sunnah wa Al-Jama’ah, Mas’ud bin Faisol menguraikan sembilan Pembatal Keimanan yang disepakati oleh para ulama:

1. Sombong dan menolak beribadah kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, walaupun membenarkan dan mengakui kebenaran Islam
2. Syirik dalam beribadah kepada Allah subhaanahu wa ta’ala
3. Membuat perantara dalam beribadah kepada Allah subhaanahu wa ta’ala dan meminta pertolongan kepada selain Allah subhaanahu wa ta’ala
4. Mendustakan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam atau membenci sesuatu yang beliau bawa walaupun ia melakukannya
5. Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik atau ragu terhadap kekafiran mereka atau membenarkan mazhab (faham/keyakinan) mereka
6. Memperolok-olok Allah subhaanahu wa ta’ala, Al-Qur’an, Al-Islam, pahala dan siksa, dan yang sejenisnya, atau mengolok-olok Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam atau salah seorang Nabi ‘alaihimus-salam, baik ketika bergurau ataupun sungguhan
7. Membantu orang musyrik atau menolong mereka untuk memusuhi orang Islam
8. Meyakini bahwa ada sebagian orang yang boleh keluar dari ajaran Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak wajib mengikuti ajaran beliau
9. Meyakini ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam atau meyakini ada hukum yang lebih baik daripada hukum beliau yang berlandaskan syariat Allah subhaanahu wa ta’ala

Kita semua berlindung kepada Allah dari perbuatan dosa, baik yang menyebabkan diri kita dipandang “sekadar” bermaksiat kepada Allah, apalagi yang sampai menyebabkan diri kita tidak lagi dipandang Allah masih merupakan seorang beriman. Na’udzubillahi min dzaalika.

Menggapai Puncak Keimanan

Iman adalah anugerah Allah yang paling mahal bagi seorang mukmin. Tidak semua manusia dapat kesempatan memperolehnya. Sebab itu, iman harus dipelihara dan dijaga sebaik mungkin. Bila ia rusak, apalagi hilang tercerabut dari dalam diri seseorang, maka nilai kehidupannya akan menjadi nol di mata Allah. Kendati di dunia bisa saja ia merasakan berbagai kenikmatan dan kesenangan hidup serta meraih kedudukan yang tinggi, namun di akhirat ia akan mendapat murka dan siksa. Allah menjelaskan :

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang kafir (tidak beriman dan mentauhidkan Allah), dari kalangan Ahlul KItab (Yahudi dan Nasrani) dan kalangan kaum musyrikin, mereka adalah di neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya, sedangkan mereka adalah makhluk yang terburuk (QS. Al-Bayyinah/ 98 : 6)

Di zaman sekarang, banyak orang yang tidak menyadari harga atau nilai keimanan. Disadari atau tidak, orang mudah merusak dan bahkan membuang imannya dari dalam diri hanya karena berharap sedikit kenikmatan dunia. Akhirnya ia menggadaikan iman dengan kufur, petunjuk dengan hidayah dan meperdagangkan akhirat dengan dunia. Pola hidup manusia seperti itu disebut Allah sebagai orang yang menukar yang mahal dengan yang murah atau yang banyak dengan yang sedikit dan ampunan (syurga) dengan azab (neraka). Allah menjelaskannya :

أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَى وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ (175)

Mereka itu adalah orang-orang yang membeli kesesatan dengan hidayah dan azab dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka! (QS. Al-baqarah : 175).


Nikmat iman yang telah Allah anugerahkan kepada kita harus kita syukuri. Caranya ialah dengan menjaganya baik-baik dalam diri kita. Kendati kondisi iman itu bisa naik dan bisa turun, namun kita harus berupaya maksimal agar iman itu tetap kokoh dan kuat dalam lubuk hati kita.

Agar iman itu tetap kokoh dalam diri, kita harus memahami betapa besarnya nilai iman iitu. Orang-orang yang sudah menyadari nilai iman, pasti ia akan menjaganya dengan baik dan maksimal, sampai ia merasakan lezat dan manisnya. Kalau sudah dirasakan lezat dan manisnya iman, maka saat itulah seorang Mukmin sampai ke puncak keimanannya. Setelah itu, ia akan merasakan betapa besarnya peran iman dalm kehidupan, baik saat mendapat kebaikan dan kemudahan hidup maupun saat menghadapi berbagai kesulitan hidup.

Orang yang sudah sampai ke puncak keimanan, warna kehidupan yang beragam ini ia rasakan sama saja. Karena jiwanya stabil, baik dalam mendapatkan berbagai nikmat maupun saat menghadai berbagai cobaan dan kesulitan. Saat ia mendapat kebaikan, ia dengan mudah bisa bersyukur. Begitu pula saat menghadapi berbagai persoalan dan kesulitan hidup ia mampu melewati dan menjalaninya dengan penuh kesabaran.

Orang yang sudah mencapai puncak keimanan kepada Allah tidak akan pernah merasakan beratnya perintah Allah, sebesar dan seberat apapun perintah itu. Orang yang sampai ke puncak keimanan tidak akan pernah ragu sedikitpun meninggalkan larangan Allah, sekecil apapun larangan itu. Orang yang sampai ke puncak keimanan kepada Allah tidak akan pernah ragu sedikitpun pada janji Allah, baik janji di dunia maupun janji akhirat-Nya. Orang yang sampai ke puncak keimanan kepada Allah tidak akan pernah menggeser orientasi hidupnya kepada selain Alllah walau hanya seinci. Shalat, ibadah, hidup dan matinya ia persembahkan hanya kepada Allah, bukan kepada yang lain, kendati ia diberi kesempatan memperoleh dunia dan seisinya. Seluruh perkatan, perbuatan dan aktivitas hidupnya hanya dengan niat untuk Allah, berdasarkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya; sedikitpun tidak ada rasa berat dan kesal di dalam dirinya dan ia pasrah dan menyerah total terhadap semua keputusan dan pilihan Allah dan Rasulnya.

Itulah sikap hidup orang yang sudah sampai kepada puncak keimanannya kepada Allah seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabb (Tuhan pencipta)-mu, mereka belum beriman sampai mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim yang memutuskan semua perkara yang muncul di antara mereka. Kemudian mereka tidak memdapatkan keberatan sedikitpun dalam diri mereka atas keputusan tersebut dan mereka menyerahkannya secara total. (QS. Annisa’ : 65)

Orang yang sampai ke puncak keimanan, tidak tergoda sedikitpun oleh gemerlap kehidupan dunia kendati ditawarkan padanya dunia dan seisinya, karena ia sadar betul orientasi hidupnya adalah kemenangan akhirat yang maha dahsyat yang dijanjikan Allah kepadanya :

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Itulah batas-batas hukum Allah. Dan siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka Dia akan memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir dari bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya dan yang demikian itulah kesuksesan yang amat besar (tanpa batas) (QS. Annisa’ : 13)

Bila demikian halnya bagi orang yang sudah merasakan lezat dan manisnya iman sebagai bukti ia sampai ke puncak keimanan, timbul pertanyaan : Bagaimana cara atau apa kiat untuk merasakan lezat dan manisnya iman itu? Jawabanya ialah seperti apa yang disabdakan baginda Rasul Muhammad Saw, seperti yang dituliskan imam Bukhari dalam kitab Shahehnya:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

Ada tiga perkara bila ketiganya ada dalam diri seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman. 1) Bahwa Allah dan rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya. 2) Dia mencintai seseorang hanya karena Allah Ta’la. Dan 3) Dia benci untuk kembali kepada kekufuran (baik I’tiqodi, hukum, akhlak ibadah dan sebagainya) sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam neraka. (H.R. Imam Bukhari).


Dari hadis tersebut dapat kita simpulkan sebagai berikut :

1. Allah dan Rasul Muhammad Saw. harus lebih kita cintai dari diri kita sendiri dan bahkan dari dunia dan seisinya. Caranya tidak lain kecuali dengan mentaati semua perintah dan menjauhi semua larangan Allah dan Rasul-Nya. Kita lakukan semua itu hanya dengan niat ikhlas kepada Allah dan ittiba’ (mengikuti) Rasulullah. Mentaati Allah dan Rasul-Nya adalah inti ibadah kepada Allah.

2. Membangun hubungan, komunikasi dan kerjasama dengan saudara seiman haruslah dilandasi iman kepada Allah dan di atas cinta karena Allah. Bukan untuk mendapatkan kepentingan duniawi, melainkan mendapatkan ridha dan cinta Allah. Inilah hubungan yang lurus dan abadi dan ia akan berkekalan sampai akhirat nanti sebagaimana yang Allah firmankan :

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

Orang-orang yang bersahabat dekat (di dunia) pada hari itu (kiamat) sebagian mereka akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertaqwa. (QS. Az-Zukhruf : 67)

3. Kita harus membenci kekufuran apapun bentuknya. Apakah kufur i’tiqodi (keyakinan dan keimanan), kufur tasyri’i (kufur sistem dan perundang-undangan), kufur ta’abbudi (kufur dalam betuk ibadah) maupun kufur akhalqi wa taqlidi (kufur moral dan tradisi). Masalah kebencian ini adalah urusan hati. Jika hati belum membenci kekufuran-kekufuran tersebut, sudah dapat dipastikan hati kita belum dapat merasakan lezat dan manisnya iman. Karena antara kufur dan iman adalah dua hal yang berbeda dan bertentangan. Tidak mungkin hati kita bisa menerima atau mencintai keduanya. Hati kita akan memilih satu di antara keduanya.

Orang yang sudah merasakan lezat dan manisnya iman, pasti dalam waktu yang bersamaan ia membenci kekufuran.

Mengenai Saya

Foto saya
lahir di mintreng batur agung kec gubug grobogan , tempat tinggal saat ini di desa dempet kec dempet kab demak